NAMA : DAMAR K. ANGGORO PUTRO
NPM : 10208293
KELAS : 4 EA 12
MATKUL : ETIKA BISNIS
ETIKA BISNIS DAN KURIKULUM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Perusahaan diarahkan untuk mencapai tujuan mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin, sejalan dengan prinsip efisiensi. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut pelaku bisnis kerap menghalalkan berbagai cara tanpa peduli apakah tindakannya melanggar etika dalam berbisnis atau tidak.
Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis, meski perusahaan-perusahaan tersebut memiliki code of conduct dalam berbisnis yang harus dipatuhi seluruh organ di dalam organisasi. Penerapan kaidah good corporate governace di perusahaan swasta, BUMN, dan instansi pemerintah juga masih lemah. Banyak perusahaan melakukan pelanggaran, terutama dalam pelaporan kinerja keuangan perusahaan.
Prinsip keterbukaan informasi tentang kinerja keuangan bagi perusahaan terdaftar di BEJ, misalnya seringkali dilanggar dan jelas merugikan para pemangku kepentingan (stakeholders),terutama pemegang saham dan masyarakat luas lainnya.Berbagai kasus insider trading dan banyaknya perusahaan publik yang di-suspend perdagangan sahamnya oleh otoritas bursa menunjukkan contoh praktik buruk dalam berbisnis. Belum lagi masalah kerusakan lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam dengan alasan mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa memperhitungkan daya dukung ekosistem lingkungan.
Bagaimana sebenarnya etika bisnis diajarkan di sekolah—kalaupun ada—dan di perguruan tinggi? Etika bisnis merupakan mata kuliah yang diajarkan di lingkungan pendidikan tinggi yang menawarkan program pendidikan bisnis dan manajemen. Beberapa kendala sering dihadapi dalam menumbuhkembangkan etika bisnis di dunia pendidikan.
Pertama, kekeliruan persepsi masyarakat bahwa etika bisnis hanya perlu diajarkan kepada mahasiswa program manajemen dan bisnis karena pendidikan model ini mencetak lulusan sebagai mencetak pengusaha. Persepsi demikian tentu tidak tepat. Lulusan dari jurusan/program studi nonbisnis yang mungkin diarahkan untuk menjadi pegawai tentu harus memahami etika bisnis. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha, termasuk dalam berinteraksi dengan stakeholders, termasuk tentunya karyawan.
Etika bisnis sebaik apa pun yang dicanangkan perusahaan dan dituangkan dalam pedoman perilaku, tidak akan berjalan tanpa kepatuhan karyawan dalam menaati norma-norma kepatutan dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Kedua, pada program pendidikan manajemen dan bisnis, etika bisnis diajarkan sebagai mata kuliah tersendiri dan tidak terintegrasi dengan pembelajaran pada mata kuliah lain. Perlu diingat bahwa mahasiswa sebagai subjek didik harus mendapatkan pembelajaran secara komprehensif. Integrasi antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam proses pembelajaran harus diutamakan. Sehingga masuk akal apabila etika bisnis—aspek afektif/ sikap dalam hal ini— disisipkan di berbagai mata kuliah yang ditawarkan. Ketiga, metode pengajaran dan pembelajaran pada mata kuliah ini cenderung monoton.Pengajaran lebih banyak menggunakan metode ceramah langsung.
Kalaupun disertai penggunaan studi kasus, sayangnya tanpa disertai kejelasan pemecahan masalah dari kasus-kasus yang dibahas. Hal ini disebabkan substansi materi etika bisnis lebih sering menyangkut kaidah dan norma yang cenderung abstrak dengan standar acuan tergantung persepsi individu dan institusi dalam menilai etis atau tidaknya suatu tindakan bisnis. Misalnya, etiskah mengiklankan sesuatu obat dengan menyembunyikan informasi tentang indikasi pemakaian? Atau membahas moral hazard pada kasus kebangkrutan perusahaan sekelas Enron di Amerika Serikat. Keempat, etika bisnis tidak terdapat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
Padahal, sebenarnya penegakan etika bisnis juga menjadi tanggung jawab kita sebagai konsumen. Orangtua dapat mengajarkan etika bisnis di lingkungan keluarga dengan jalan memberi keteladanan pada anak dalam menghargai hak atas kekayaan intelektual (HaKI), misalnya dengan tidak membelikan mereka VCD, game software, dan produk bajakan lain dengan alasan yang penting murah. Keenam, pendidik belum berperan sebagai model panutan dalam pengajaran etika bisnis. Misalnya masih sering kita mendapati fenomena orangtua siswa memberi hadiah kepada gurunya pada saat kenaikan kelas dengan alasan sebagai rasa terima kasih dan ikhlas.
Pendidik menerima hadiah tersebut dengan senang hati dan dengan sengaja menunjukkan hadiah pemberian orangtua siswa tersebut kepada teman sejawatnya dengan memuji-muji nilai atau besaran hadiah tersebut. Tidakkah kita sadari, kondisi seperti ini akan memberikan kesan mendalam pada anak kita? Mengurangi praktik pelanggaran etika dalam berbisnis merupakan tanggung jawab kita semua. Sebagai pengusaha, tujuan memaksimalkan profit harus diimbangi
peningkatan peran dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Perusahaan turut melakukan pemberdayaan kualitas hidup masyarakat melalui program corporate social responsibility (CSR).
Pada saat kita berperan sebagai konsumen, seyogianya memahami betul hak dan kewajiban dalam menghargai karya orang lain. Orangtua harus menjadi model panutan dengan memberikan contoh baik tentang perilaku berbisnis kepada anak sehingga kelak mereka akan menjadi pekerja atau pengusaha yang mengerti betul arti penting etika bisnis.
Pemerintah sebagai regulator pasar turut berperan mengawasi praktik negatif para pelaku ekonomi. Sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan etika bisnis termuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Peran aktif para pelaku ekonomi ini pada akhirnya akan menjadikan dunia bisnis di Tanah Air surga bagi investor asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar